Write for lyfe

Perjalanan Healing Sesungguhnya: Bukan tentang Liburan atau Jalan-jalan Semata

Healing. Kata dalam Bahasa Inggris ini terlalu sering kita dengar. Seingat saya, kata ini marak digunakan generasi muda, terutama di media sosial ketika pandemi perlahan berubah menjadi endemi, tepatnya pertengahan 2022.

Dulu aku jengah mendengar kata itu. Pasalnya, hampir setiap kali orang menggunakan kata “healing”, yang dimaksud sebenarnya hanya berwisata. Padahal kata “healing” punya makna lebih dari itu, bahkan bisa dibilang berbeda sama sekali.

Dulu juga, aku merasa tak butuh “healing” karena aku merasa bukan orang yang gampang stress. Despite popular belief, aku memaknai “healing” seperti makna aslinya, yaitu penyembuhan. Kalau tidak sakit (secara) mental, tentunya tidak membutuhkan healing atau penyembuhan.

Sumber Gambar : latimes.com

Dampak Pandemi: Stres dan Depresi

Diakui ataupun tidak, semua orang mengalami efek atau dampak pandemi. Bagaimana tidak? Virus covid-19 yang menyebar di seluruh dunia mengubah banyak aspekl kehidupan manusia dan mendobrak kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

Salah satu dampak paling besar ialah terbatasnya aktivitas. Saat pandemi melanda, aku memang tidak berstatus pekerja kantoran. Tapi, suami yang biasanya harus ke kantor dari pagi hingga sore diwajibkan bekerja dari rumah. Otomatis, ini mengubah rutinitas atau dinamika keluarga kami. Aku yakin ini juga dialami hampir setiap rumah tangga.

Kecemasan melanda setiap orang karena covid-19 menyebar lewat udara sehingga penyebarannya cepat sekali. Kita terpaksa memakai masker ketika berada di luar rumah untuk menghindari terpapar virus satu itu.

Pastinya ada dampak lain yang juga dirasakan, seperti dampak ekonomi. Banyak orang harus kehilangan pekerjaan atau harus menutup bisnis karena pandemi. Dampak yang menurutku jarang dibicarakan ialah dampak psikologis. Aku akan mengutip WHO yang membahas tentang efek pandemi secara psikologis.

“As people grapple with these health, social and economic impacts, mental health has been widely affected. Plenty of us became more anxious; but for some COVID-19 has sparked or amplified much more serious mental health problems. A great number of people have reported psychological distress and symptoms of depression, anxiety or post-traumatic stress. And there have been worrying signs of more widespread suicidal thoughts and behaviours, including among health care workers. “

Tadinya aku menyangkal bahwa pandemi memengaruhi kesehatan jiwaku. Toh aku bisa beraktivitas seperti biasa. Apalagi meskipun pandemi, ketika ada pelonggaran PPKM, aku masih menyempatkan untuk bepergian dengan tujuan melepas suntuk.

Selain itu, aku tergolong beruntung karena sejujurnya selama pandemi aku jadi punya pendapatan tambahan. Ketika pandemi dimulai, yakni awal 2020, aku bekerja sebagai penulis lepas (freelance) untuk beberapa situs. Namun, aku sempat meninggalkan pekerjaan itu.

Lantas, aku semakin getol menjelajahi media sosial, terutama Instagram. Aku bergabung dengan komunitas yang menyebut diri sebagai influencers. Ternyata, dengan menulis dan mengunggah foto serta video di Instagram bisa membuatku dapat penghasilan.

Dengan begitu, aku berpikir tidak mungkin aku stress. Memang ada beberapa momen yang membuatku stress, tapi kupikir itu masih dalam kendali dan tidak merugikanku atau orang lain.

Aku salah besar.

Perubahan-perubahan, pembatasan-pembatasan, dan kecemasan-kecemasan yang kuhadapi selama pandemi, diakui atau tidak, memengaruhi kesehatan mentalku. Apalagi aku masih belum tuntas dengan urusan inner-child dan post-partum depression.

Penyembuhan Sejati

Aku pikir aku hanya mengalami stress dan kadarnya ringan. Aku sempat solo traveling ke Bali untuk penyegaran supaya tidak stress lagi. Tapi percayalah, ribuan traveling tidak akan menyembuhkan mental yang sakit.

Selama pandemi, aku beberapa kali ngobrol dengan psikolog secara online. Pemicunya adalah aku jadi sering marah-marah di rumah, terutama pada anak. Tentu saja ini membuatku tidak nyaman dan merugikan anak serta suami. Situasi di rumah benar-benar tidak kondusif.

Ada kalanya, hal yang sangat kecil bisa membuatku marah besar. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, aku bisa memilih respon yang jauh berbeda dan lebih aman.

Seperti ketika fisik sedang sakit, aku juga mencari tahu penyebab dan bagaimana menyembuhkan sakit mentalku ini. Aku berusaha mengenali diriku lebih dalam dan cari tahu pada saat atau kejadian apa saja yang membuat emosiku tersenggol dan meledak.

Menurutku ini jadi satu langkah awal yang baik dalam penyembuhan: menyadari dan mengakui ada yang salah atau menyadari kita tidak sedang baik-baik saja. Kalau terus-terusan menyangkal, kita tidak akan berjuang untuk menyembuhkan diri kita.

Setelah menyadari ada yang tidak beres, aku berusaha ngobrol dengan tenaga kesehatan profesional, yaitu psikolog. Aku sempat konsultasi dengan empat psikolog secara daring. Semuanya meyakinkan bahwa aku normal. Kecemasan, kesedihan, dan kemarahan yang kurasakan divalidasi. Memang pada saat ngobrol, aku merasa lebih baik. Tapi setelah itu tidak banyak efek berarti yang kurasakan.

Kemudian pandemi berubah menjadi endemi. Artinya, perlahan-lahan kita kembali pada rutinitas lama sebelum pandemi. Aktivitas sudah tidak dibatasi lagi. Kebebasan dari virus covid-19 memang bukan sebuah kepastian. Tapi dengan program vaksinasi, virus ini bisa dikendalikan.

Namun, aku merasa masih ada yang tidak beres. Aku masih merasakan kecemasan, kesedihan, dan kemarahan yang tidak terkontrol. Hal-hal kecil masih memicuku untuk meluapkan emosi dengan cara tidak aman. Ini memang tidak terjadi setiap hari. Saat itu aku belum menemukan pola munculnya emosi yang sulit dikontrol ini. Aku masih sangat kebingungan. Apakah aku butuh bantuan profesional lagi atau tidak? Selama ini psikolog mengatakan apa yang kualami normal. Tapi aku masih tidak puas.

Akhirnya kuputuskan menemui seorang psikiater yang namanya kuketahui dari situs X atau Twitter. Beberapa orang merekomendasikan psikiater ini karena tidak judgmental dan mau mendengar keluhan pasien serta pedui. Tiga hal ini memang hal mendasar, tapi percayalah tidak semua tenaga kesehatan mental profesional memilikinya.

Pertemuan pertamaku dengan psikiater berlangsung pada akhir Maret 2023. Waktu itu aku tidak punya harapan tinggi. Aku hanya ingin bertemu profesional di bidang kesehatan mental dan mendengar pendapatnya tentang kondisiku.

Ternyata apa yang kubaca dari testimonial pasien lain di media sosial mengenai psikiater ini benar. Dari awal, aku merasa nyaman dan aman bercerita tentang kondisiku. Tidak ada satupun komentar atau pertanyaannya yang bersifat menghakimi. Dia terlihat peduli dan ingin aku mencapai tujuan-tujuan hidupku yang selama ini terganggu karena mentalku yang kurang sehat.

Di akhir pembicaran kami, sang dokter memberikanku “tugas” untuk memikirkan tujuan dan harapan hidup dan terus belajar mengendalikan emosi. Untuk membantu hal itu, aku diresepkan dua jenis obat.

Awalnya tentu aku kaget karena tadinya aku tidak berpikir kondisiku membuatku harus minum obat. Namun setelah seminggu mengonsumsi obat yang diberikan dokter, aku langsung merasakan perubahan yang drastis, terutama dalam mood atau perasaanku. Hal-hal kecil tidak lagi menggangguku dan memantik amarahku.

Walaupun tentu saja, aku masih terus belajar mengenali dan mengontrol emosi dan perasaanku, karena obat hanyalah support system. Kunci kesehatan mental ada padaku. Bertemu dengan psikiater adalah keputusan tepat dan mengubah hidupku untuk penyembuhan sejati.

Sampai saat ini, aku masih harus mengonsumsi obat dari psikiater, meskipun dosis dan jenis obatnya sudah sangat minimal. Aku juga semakin menyadari kapan atau hal apa saja yang memengaruhi mood-ku sehingga aku lebih mudah mengendalikannya. Tapi penyembuhan bukanlah garis linear. Aku mengalami ups and downs. Semua kuobservasi untuk mengenal diri dan kondisiku lebih dalam.

Hasilnya, aku jadi lebih mengetahui siapa diriku dan menyadari kondisiku, serta merasakan penyembuhan perlahan tapi pasti. Rasanya apa yang kualami selama pandemi membuatku jauh dari diriku yang sebenarnya. Dan sekarang, dengan konsultasi dan treatment dari psikiater, proses penyembuhan terasa nyata dan sangat kusyukuri.

Aku masih sering liburan atau jalan-jalan untuk melepas penat. Aku merasa sangat bahagia ketika mengeksplorasi tempat baru dan keluar dari rutinitas sehari-hari. Namun, itu bukanlah penyembuhan atau healing sebenarnya.

Ketika merasa mental tidak baik-baik saja, ambil waktu sejenak untuk menumbuhkan kesadaran tentang apa yang kita butuhkan. Mencari bantuan profesional di bidang kesehatan mental adalah langkah awal yang sangat bagus untuk menuju penyembuhan sejati.

Aku berharap semua yang membaca ini menyingkirkan keraguan atau melupakan stigma terhadap penyembuhan dari kesehatan mental dan mengalami penyembuhan sejati.

Leave a comment